JAKARTA, duniafintech.com – Apa itu crypto winter? Adapun istilah nan satu ini memang semakin sering terdengar serta menarik perhatian.
Istilah tersebut juga barangkali tetap terasa asing di telinga sebagian besar orang. Namun, di organisasi kripto sendiri, istilah ini memang sering kali muncul.
Menukil laman CNBC, istilah nan satu ini menjadi ungkapan nan merujuk pada saat pasar tengah lesu, utamanya di pasar duit digital.
Untuk mengetahui lebih jauh soal istilah nan satu ini, simak ulasan berikut ini.
Baca juga: Apa Itu Crypto Winter: Sejarah, Dampak, dan Tips Menghadapinya
Apa Itu Crypto Winter?
Menukil buletin Forbes, istilah “crypto winter” ini kemungkinan berasal dari serial hit HBO, “Game of Thrones.”
Dalam pagelaran itu, moto House of Stark adalah “Winter is coming.” Hal itu pun dianggap sebagai peringatan bahwa bentrok kekal bisa turun di tanah Westeros kapan saja.
Demikian pula, masalah nan berkepanjangan mungkin terjadi di pasar crypto. Selama masa susah ini, penanammodal kudu tetap waspada dan bersiap menghadapi kekacauan nan melanda pasar tanpa banyak peringatan.
Secara lebih harfiah, musim dingin kripto merupakan saat nilai kripto terkontraksi dan tetap rendah untuk waktu nan lama. Para analis pun percaya bahwa roda musim dingin kripto nan muncul sudah bergerak lebih awal pada tahun 2022.
“Pasar crypto sudah merasakan pengaruh dari peristiwa dunia, terutama bentrok Rusia-Ukraina nan menyebabkan gejolak dalam finansial global,” ucap CEO DBX Digital Ecosystem, Igor Zakharov.
Ia mencatat, inflasi nan tinggi sudah mendorong kenaikan suku kembang di AS, nan merupakan pemain terbesar dalam crypto.
“Pada saat TerraUSD dan Luna runtuh dan menggerakkan pengaruh domino di bumi kripto, musim dingin kripto telah dimulai,” tuturnya.
Sejak November 2021, pasar crypto telah turun 60% alias turun drastis dari US$ 3 triliun menjadi kurang dari US$ 1 triliun saat ini.
Alasan Crypto Winter 2022 Lebih Parah daripada 2018 – Apa Itu Crypto Winter?
1. Perbedaan Crypto Winter 2018 dengan 2022
Mengutip CNBCIndonesia.com, beranjak kembali ke 2018 lalu, Bitcoin dan token lainnya merosot tajam setelah kenaikan tajam pada tahun 2017.
Hal itu mirip dengan nan terjadi dengan tahun 2022 lalu. Lantas, pasar pun dibanjiri oleh penawaran koin awal (initial coin offering/ICO).
Dalam perihal ini, orang dengan rela menuangkan uangnya ke dalam aset kripto nan muncul di kiri, kanan dan tengah, tetapi sebagian besar proyek itu pada akhirnya gagal.
“Crash kripto di 2017 sebagian besar disebabkan oleh bubble nan sudah pecah,” ucap kepala riset di perusahaan informasi kripto Kaiko, Clara Medalie, kepada CNBC International.
Akan tetapi, crash kripto pada 2022 lebih kompleks dibandingkan pada tahun 2017 karena pasar kripto diketahui telah mulai membentuk tren penurunan sejak awal tahun.
Penyebabnya adalah lantaran penanammodal telah memprediksi bahwa tahun 2022 sebagai tahun nan condong susah bagi pasar kripto lantaran aspek ekonomi makro nan condong memburuk.
Adapun inflasi nan terus meninggi dan menyebabkan bank sentral Amerika Serikat (S), Federal Reserve (The Fed) dan bank sentral lainnya secara garang meningkatkan suku bunga. Faktor-faktor ini tidak terjadi pada crash kripto 2017-2018.
Bitcoin dan cryptocurrency lainnya kian berkorelasi erat dengan aset berisiko lainnya, terutama saham.
Diketahui, Bitcoin membukukan kuartal terburuknya dalam lebih dari satu dasawarsa pada kuartal kedua tahun ini. Pada periode nan sama, Nasdaq nan sarat teknologi turun lebih dari 22%.
Pembalikan pasar kripto nan tajam itu membikin banyak penanammodal besar di industri kripto mulai mengalami masa-masa susah akibat lesunya kripto.
Puncaknya, ialah pada pertengahan bulan lalu, penanammodal besar nan secara kebanyakan terdiri atas perusahaan biaya lindung nilai (hedging)hingga perusahaan pemberi pun akhirnya terkena krisis likuiditas.
“Perbedaan lainnya adalah tidak ada pemain besar Wall Street nan menggunakan “posisi nan sangat berpengaruh” pada tahun 2017 dan 2018,” ucap guru besar finansial di Universitas Sussex, Carol Alexander.
2. Kehancuran Token Terra
Adapun awal dari kejatuhan kripto tahun ini berasal dari Terra, dengan dua token Terra terpantau ambruk.
Bahkan, stablecoin satu-satunya di ekosistem Terra, ialah TerraUSD kandas mempertahankan pasaknya di US$ 1.
TerraUSD alias UST merupakan stablecoin algoritma nan semestinya dipatok dengan rasio 1:1 dengan dolar AS.
Itu bekerja melalui sistem kompleks nan diatur oleh suatu algoritma. Tapi UST kehilangan pasak dolarnya nan menyebabkan sister-coin-nya ialah Terra Luna ikut ambruk.
Hal tersebut tidak hanya mengirimkan gelombang kejut melalui industri kripto, tetapi juga punya pengaruh knock-on pada perusahaan nan terpapar UST, utamanya hedge fund Three Arrows Capital alias 3AC.
“Runtuhnya blockchain Terra dan stablecoin UST secara luas tidak terduga setelah periode pertumbuhan nan luar biasa,” jelas Medalie.
3. Daya Tarik dari Leverage-nya
Investor kripto membangun leverage dalam jumlah besar berkah munculnya skema pinjaman terpusat dan apa nan disebut finansial terdesentralisasi (decentralized finance/DeFi), istilah umum untuk produk finansial nan dikembangkan di blockchain.
Akan tetapi, sifat leverage berbeda dalam siklus tahun ini dibandingkan dengan tahun 2017.
Pada tahun 2017, leverage sebagian besar diberikan kepada penanammodal ritel melalui derivatif pada pertukaran cryptocurrency.
Baca juga: Apa Itu Crypto Winter? Intip 4 Strategi Jitu dalam Menghadapinya
Saat pasar crypto menurun di 2018, posisi nan dibuka oleh penanammodal ritel secara otomatis dilikuidasi di bursa lantaran mereka tidak dapat memenuhi margin call, nan dapat memperburuk penjualan.
Sebaliknya, leverage nan menyebabkan penjualan paksa pada kuartal II-2022 telah diberikan kepada biaya kripto dan lembaga pemberi pinjaman oleh deposan ritel kripto nan berinvestasi dengan orientasi imbal hasil.
“Ada banyak pinjaman tanpa agunan alias undercollateralized lantaran akibat angsuran dan akibat pihak musuh tidak dinilai dengan kewaspadaan. Ketika nilai pasar turun di kuartal II tahun ini, perusahaan pemberi pinjaman dan perusahaan kripto lainnya terpaksa melakukan force sell lantaran banyak nan tidak memenuhi margin call-nya,” ucap CEO perusahaan perdagangan kuantitatif, Cambrian Asset Management, Martin Green, dikutip dari CNBC International.
Margin call merupakan sebuah istilah nan terjadi saat agen bakal memberitahukan pemegang posisi untuk melakukan penambahan modal atas dasar transaksi margin.
Hal nan mengerikan bakal terjadi jika sang pemegang posisi tidak bisa membayar margin call tersebut.
Kalau tidak bisa menyetorkan biaya dalam kurun waktu tertentu maka sang agen bakal melakukan penutupan terhadap seluruh posisi nan dimiliki oleh perseroan baik melakukan penjualan pada posisi long (forced sell) maupun pembelian pada posisi short.
4. High Yield, High Risk – Apa Itu Crypto Winter
Inti dari gejolak baru-baru ini dalam aset kripto, ialah banyak perusahaan kripto nan menjanjikan return kepada investornya, termasuk penanammodal ritel, agar mereka dengan mudah masuk dan berinvestasi di perusahaan tersebut.
Misalnya Celsius Network, perusahaan lending kripto itu menjanjikan imbal hasil lebih dari 18% jika penanammodal menyimpan kripto mereka di Celsius.
Akan tetapi, pada pertengahan bulan lalu, Celsius mengumumkan untuk menangguhkan layanan penarikan biaya oleh nasabah.
Celsius layaknya bank konvensional, di mana mereka beraksi dengan menghimpun biaya dari para investor, lampau biaya dari penanammodal itu bisa digunakan untuk memberi pinjaman ke pemain lain, tentunya dengan imbal hasil nan cukup tinggi.
Para pemain lain tersebut bakal menggunakannya untuk trading dan untung Celsius nan dihasilkan dari transaksi itu bakal digunakan untuk membayar kembali penanammodal nan menyetor kripto.
Namun, ketika krisis melanda, model upaya ini diuji. Celsius terus menghadapi masalah likuiditas dan kudu menghentikan penarikan biaya dengan argumen ‘kondisi pasar nan ekstrem’.
“Pemain nan mencari imbal hasil tinggi menukar duit fiat dengan kripto menggunakan platform pinjaman sebagai penjaga, dan kemudian platform tersebut menggunakan biaya nan mereka kumpulkan untuk melakukan investasi nan sangat berisiko, perihal ini nan menjadi pemicu kejatuhan perusahaan kripto tersebut,” jelas Alexander dari Universitas Sussex.
5. Krisis Three Arrows Capital (3AC)
Satu masalah nan menjadi jelas akhir-akhir ini, ialah seberapa banyak perusahaan kripto mengandalkan pinjaman satu sama lain.
Three Arrows Capital (3AC) adalah perusahaan hedge fund nan berfokus pada kripto. Perusahaan nan berbasis di Singapura itu sudah menjadi salah satu korban terbesar dari kejatuhan pasar kripto.
Mirisnya, 3AC dikabarkan mempunyai eksposur Terra Luna sehingga krisis nan dialami oleh 3AC adalah corak kesalahan investasinya di masa lalu.
Pada akhir bulan lalu, 3AC resmi dinyatakan kandas bayar (default) oleh salah satu perusahaan peminjaman kripto ialah Voyager Digital.
Akibatnya, 3AC jatuh ke dalam likuidasi dan mengusulkan kebangkrutan berasas ‘Chapter 15’ dari Kode Kepailitan di AS.
3AC dikenal dengan perusahaan hedge fund nan memasang taruhan sangat tinggi dan penganut bullish. Tetapi sejak kejatuhan kripto, banyak penanammodal menyorotinya lantaran 3AC dinilai sudah salah mengambil strategi sedari awal.
“Secara keseluruhan, periode Mei-Juni merupakan periode nan jelek bagi pasar kripto. Kami memandang kehancuran beberapa perusahaan terbesar sebagian besar lantaran manajemen akibat mereka nan sangat buruk,” Kata Medalie.
Baca juga: Apa Itu Crypto Winter? Inilah Perbedaannya dengan Bearish Market
Sekian ulasan tentang apa itu crypto winter nan perlu diketahui. Semoga bermanfaat.
Baca terus buletin fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com